Selasa, 11 Desember 2007

Saatnya jadi entrepreneur!

Menurut prediksi para ahli, pada tahun 2020 mendatang, yang akan menguasai negeri ini adalah para entrepreneur (wirausahawan) muda. Pada saat awal Indonesia merdeka, negeri ini dikuasai oleh para intelektual muda, kemudian semasa orde baru dikuasai para militer, dan hingga kini yang memegang puncak jabatan di negeri ini adalah para aktifis. Kalau nantinya yang akan berkuasa adalah entrepreneur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi? Bukankah cukup dapat menghitung? Karena sesungguhnya perubahan masa ini adalah sebuah akumulasi dari masa-masa sebelumnya. Untuk menjadi entrepreneur, diperlukan kecerdasan, kreatifitas, dan inovasi seperti intelektual. Diperlukan pula kedisiplinan yang tinggi seperti militer. Dan juga kemampuan mambangun relasi serta manajemen seperti aktifis. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan sekolah untuk menjadi seorang entrepreneur.
Tetapi, tidak ada alasan juga untuk tidak menjadi entrepreneur saat masih sekolah. Banyak para mahasiswa yang memulai usaha saat tahun ke-2, entah karena desakan ekonomi atau karena keinginan menjadi pengusaha. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang sukses dan kini memiliki gerai di tingkat nasional.
Bagaimana kalau tidak ada modal? Buat saja konsep yang matang dan dituangkan dalam proposal yang sistematis dan meyakinkan. Kemudian cari investor, jadi kita menjadi menejer.
Yang terpenting adalah ide. Bagaimana mencari sebuah inovasi yang layak jual. PURPLE COW (sapi ungu) adalah analoginya.

Televisi. mendidik atau membodohi?

TV, sebuah hiburan yang kini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu TV menjadi pembawa informasi yang paling ampuh. Tak mengherankan jika TV merupakan media iklan yang paling laris, jauh di atas media cetak, radio, maupun internet. Tapi apa yang kita dapat ketika nonton TV? Kabar terbaru tentang artist yang terpaksa nyuci sendiri karena ditinggal pembantu mudik (sungguh berita yang sangat penting!!!), atau cerita sinetron yang dibuat-buat dan mudah ditebak (misteri si A ternyata anak dari majikannya), ataukah pelajaran agama yang hebat (seorang kyai punya ilmu seperti Avatar). Yang lebih ironis, acara-acara “bermutu tinggi” seperti di atas yang memiliki rating tinggi (walaupun diragukan kredibilitasnya). Sehingga banyak menyedot iklan. Makin senanglah produser membuat acara-acara demikian.
Lebih bagus lagi acara yang sekarang sedang digandrungi anak-anak, Si Entong, Si Eneng dan kawan-kawan. Sekilas tampak religius, dengan banyaknya ucapan Subhanallah dan Alhamdulillah. Tapi kalau dicermati, ternyata menjadi mengajarkan anak-anak berpikir instant, irrasional, bahkan mengarah ke tahayul. Dengan sekali berdoa, langsung apa yang diinginkan terkabul. Sama halnya Si Eneng, dari judulnya yang sering mengandung kata “ajaib”, sudah bisa ditebak betapa tingginya ilmu fisika yang digunakan dalam ceritanya.
TV, sebenarnya dapat membawa manfaat yang sangat besar, khususnya dalam penyampaian informasi. Tinggal bagaimana stasiun TV, pemasang iklan, juga masyarakat, dapat menghasilkan suatu system pertelevisian yang sehat. Dapat untung banyak, tapi tidak membodohi, kalau bisa justru mencerdaskan.

Tetralogi Laskar Pelangi

Novel sudah banyak bermunculan sejah bertahun-tahun lalu, tapi untuk segmen remaja, tema yang di ambil hampir tak pernah berubah. Tentang cinta yang dipersempit artinya, dan budaya hedonisme. Banyak yang mengira begitulah tuntutan pasar, sehingga novel-novel (yang kemudian melahirkan film) yang muncul juga mengikuti arus itu. Tetapi siapa sangka, kemunculan tetralogi Laskar Pelangi yang diawali dengan novel berjudul Laskar Pelangi mampu menggebrak pasar. Pengarangnya, Andrea Hirata, mampu memberikan nuansa naru di dunia pernovelan. Dengan basic seorang sarjana ekonomi yang juga mendalami sains, anak daerah yang menjadi lulusan Universite de Paris ini banyak menggunakan istiliah-istilah ilmiah dan banyak memberi glosarium baru bagi pembacanya.
Tetralogi Laskar Pelangi mempunyai 4 sequel yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Saat ini saya baru membaca sampai dengan Edensor. Sequel-sequel tersebut mempunyai kesamaan di sisi penggunaan bahasa juga pemilihan kalimat. Laskar Pelangi menceritakan saat masa mulai sekolah di SD Muhammadiyah, Sang Pemimpi menceritakan saat masa SMA, kuliah, dan mendapat beasiswa Uni Eropa, sedang Edensor menceritakan petualangannya di Eropa.
Yang menarik adalah bagian-bagian novel ini (di sebut mozaik) saling berkaitan satu sama lain. Sehingga memang lebih mengena jika membaca urut dari awal. Hebatnya semua itu teralur secara tak wajar. sehingga membacanya menjadi sangat menghibur, dan tak jarang menjadi seperti orang gila senyum-senyum sendiri. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa pembaca mulai bosan dengan tema novel yang itu-itu saja, sehinggu embutuhtan cerita yang fresh dan lebih berbobot.

Senin, 10 Desember 2007

UGM Kampus Tak Berpendidikan

UGM kampus yang tidak berpendidikan?Jangan marah dulu Pak rektor, maksud saya UGM kampus tidak ber Fakultas Pendidikan, jadi kampus yang berpendidikan ya UNY!hehehe…
Tapi,(mulai serius) kita semua tahu bahwa para petinggi negara kita memang didominasi alumni dari kampus-kampus paling top di Indonesia, seperti UI,ITB,UGM, atau almamater Sang Presiden IPB. Namun,yah….adakah di antara kita merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama ini?baik eksekutif (termasuk mentri2nya), legislatif, dan yudikatif. Korupsi di mana-mana. Dan mereka yang korupsi bukan yang waktu mahasiswa bukan aktifis. Justru para aktifis kampus (yang suka panas2an dan teriak2 anti korupsi) lah yang kebanyakan menjadi politikus. Jadi, mau tidak mau pola pendidikan kita memang harus banyak perbaikan. Jangan sarjana elektro cuma bisa nyolder, tapi juga harus dibekali pengetahuan-pengetahuan lain diluar disiplin ilmunya.
So, kapan indonesia mulai bangun?? maju terus pendidikan Indonesia, tembus 100 besar universitas dunia!!!